"Aku sangat menyesal dipaksa masuk ke sekolah agama," itu yang aku pikirkan hari ini setelah memproses ingatan tentang trauma akademik paling awal yang terjadi dalam hidupku. Lingkungan tidak terawat ditambah sebaya sekelas yang penuh kekerasan dan perundungan. Makin mantap lagi penderitaan karena orangtua memaksa aku untuk menghafal materi sekolah agama dan mengurung aku di sekolah. Pada saat itu, aku menangis dan marah kepada ibu. Dampaknya adalah aku jadi tidak mau menulis dan mencatat selama kelas di sekolah agama. Kejadian buruk yang aku alami di sekolah agama, membuat performa ku di sekolah biasa menurun dan aku mengembangkan ketakutan untuk berinteraksi dengan teman biasa di sekolah biasa.
![]() |
| brown wooden chairs and tables photo – Free School canteen Image on Unsplash |
Peristiwa trauma yang paling awal adalah ketika ibu memarahi aku dan memaksa aku untuk diam di bangku dan menghafal materi sekolah. Inilah peristiwa trauma akademik yang paling pertama yang aku alami. Emosi marah dan sedih terpendam dalam diriku kemudian selamanya menghambat aku dalam mengerjakan tugas akademik, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan sekolah, sampai aku menyadari polanya pada hari ini. Sesuatu berubah dari dalam diriku.
Aku sudah melakukan evaluasi tentang sekolah agama dengan ibuku. Aku sudah bilang kalau ide memasukkan aku ke sekolah agama adalah sampah. Seharusnya aku sudah keluar dari sekolah agama sejak awal. Kalau misalkan mau mendidik aku tentang agama, sebaiknya didik sendiri atau serahkan pada orang atau lembaga yang cocok dengan ku. Misalkan tidak akan ada yang mampu mendidik aku karena keterbatasan sumber daya untuk mendidik anak berkebutuhan khusus (aku hidup dengan ADHD), ya sebaiknya tidak usah sekolah agama saja dan izinkan aku untuk bermain selayaknya. Aku kehilangan waktu dan pengalaman berharga untuk bermain dan berinteraksi dengan anak lain. Sepulang sekolah agama, aku senantiasa dihantui teror dan ketakutan akibat pengalaman kekerasan, yang kemudian memperburuk interaksi aku dengan teman di sekolah biasa.
Aku melalui pengalaman sekolah agama selama kurang lebih 5 tahun yang penuh kekerasan, perundungan, pemaksaan, dan tuntutan non realistis dari sebaya di kelas (aku tidak mau mengakui mereka sebagai teman), guru, dan orang tua. Itu melukai aku baik secara akademik, spiritual (aku kehilangan makna spiritualitas karena jadi korban perundungan dari pelaku yang terkenal paling rajin beribadah), dan psikologis (keterampilan aku bersosialisasi menurun setelah paparan kekerasan di sekolah agama). Jadi, banyak mudharatnya aku ikut sekolah agama baik selama di Bandung maupun di Garut.
| man in black jacket and pants sitting on stairs photo – Free Grey Image on Unsplash |
Aku mengeluarkan banyak energi emosional selama menulis postingan ini. Aku melakukannya untuk pemulihan pribadi ku dari trauma akademik, yang ternyata berasal dari satu peristiwa yang berdampak pada banyak aspek kehidupan aku. Peringatan untuk orang tua/pengasuh yang sedang baca tulisan ini, sebaiknya pahami kebutuhan dan potensi anak sehingga ia bisa berkembang dan mendapatkan perlakuan yang pantas dan layak. Tidak seperti aku yang dengan alasan "cinta" dan keinginan buta orangtua sehingga menyekolahkan anaknya tanpa persetujuan anaknya. Aku dulu ketika kecil merasa sangat ketakutan untuk bilang kalau aku mau berhenti sekolah agama. Orang tua ku masih bermental anak-anak, sehingga itu jadi tindakan beresiko bahwa mereka akan menyiksa aku dengan alasan "tidak patuh sama orang tua". Yang dilakukan oleh orang tua aku itu adalah tindakan yang julid banget.
Semoga proses ini bisa membantu aku mengurai peristiwa trauma ini dan buat kamu yang merasa klik dengan tulisan ini, semoga kamu bisa berproses dengan lancar. Kamu gak sendirian.



Posting Komentar