Ini merupakan tulisan praktik perwujudan melalui puisi (embodied poetry). Saya akan bagikan praktik dan pengalaman saya. Saya pelajari ini dari ibu Waeli Wang dari University of Kansas Theatre & Dance Department.
Untuk mengenali siapa diri sendiri dengan relasi pada identitas. Kita bisa mulai dari “aku adalah…” kemudian lanjutkan kata-kata tersebut. Ini untuk memahami apa yang kita wujudkan secara sadar pada diri sendiri sebagai wujud dari adanya identitas yang melekat pada diri. Ini juga untuk memahami lapisan identitas yang ada pada diri sendiri.
Metode ini digunakan sebagai upaya pendidikan kesadaran dan kritis tentang identitas serta budaya dan struktur sosial yang mempengaruhinya. Dengan demikian, eksistensi diri dalam kaitannya dengan identitas dan budaya serta sosial di sekitar dapat diketahui dan diuraikan. Persepsi identitas ini, ketika diurai, dapat menuntun seseorang pada pemahaman lebih lanjut dan langkah-langkah untuk mewujudkan keadilan di tubuh dan sosial, termasuk interseksionalitas di dalamnya.
Mari kita mulai. Dalam menulis puisi yang terwujud, kamu tidak usah merisaukan estetika kata yang muncul. Cukup keluarkan kata-kata apa adanya yang muncul dari benak mu tanpa kamu filter maupun kamu seleksi. Dengan jujur, terima apa yang muncul di benak dan tuliskan kata-katanya. Diawali dengan melanjutkan kata, “aku adalah…”
Aku adalah…
sebuah ilalang yang tumbuh di terumbu karang. Hasil berenang, mengumpan dan riang jala. Bersembunyi di laut barangkali hilang tembaga. Untuk intan dan berlian, emas. Tiada harga, tiada jua.
Setelah selesai menulis, baca kembali puisi yang baru saja selesai ditulis. Kemudian perhatikan bagaimana gejala tubuhmu merespon tulisan mu sendiri. Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu pikirkan? Kemudian, tulislah perasaan dan pikiran mu di bawah puisi tersebut untuk membantu kamu mengurai apa yang dialami diri kamu terkait identitas.
Yang aku rasakan dan pikirkan adalah aku merasa berada di tempat yang kurang sesuai dengan ku. Aku memiliki identitas yang berbeda dan mungkin membuat diriku rentan. Aku terus mencari keluar, namun karena kondisi ekonomi yang terbatas, membuat jangkauan diriku terbatas. Aku sekarang mencari mata pencarian dan terus mempertanyakan apakah tempat ku tinggal sekarang layak untuk aku. Karena aku mengakar sebagai ilalang yang makan dari sisa-sisa finansial pengasuh sendiri. Meskipun merasa tidak berdaya, saya berdaya dengan keterbatasan yang saya miliki.
Identitas yang aku hayati lewat puisi tersebut adalah identitas gender, sosioekonomi, posisi saya sebagai anak sulung, dan sebagai penyintas trauma. Dari puisi tersebut, saya menyadari tumpang tindih pengaruh, interseksionalitas, yang saya alami dan rasakan sebagai individu. Itu mempengaruhi bagaimana saya melihat diri saya sendiri dan bagaimana saya bertindak dalam kehidupan saya sekarang ini. Aku merasakan sedih karena tahu bahwa aku berada dalam keterbatasan yang juga memiliki kerawanan.
Praktik lebih lanjut dari puisi yang terwujud ini lebih lanjut dapat mengantarkan kepekaan diri. Untuk mengenali dan memahami diri. Dan kemudian merencanakan tindak lanjut sebagai langkah perubahan dari penyadaran. Proses ini bisa dilanjutkan lewat puisi lagi dan itu akan aku bagikan di postingan ku berikutnya.


Posting Komentar