Saya memikirkan tentang kondisi di saat saya tiba di rumah. Saya sudah mengajukan pengunduran diri saya dari pekerjaan. Pada hari saya memutuskan untuk berhenti, saya merasa merdeka dan menemukan harapan tentang apa yang bisa saya lakukan di masa mendatang. Saya berpikir bahwa saya masih bisa terlibat sebagai sukarelawan. Namun, setibanya saya di rumah, saya menjadi ingat semua kenangan traumatis saat saya tinggal di kota tempat bekerja sebelumnya.
Saya baru tahu bahwa yang saya alami adalah
kemunculan kenangan. Seperti yang dijelaskan dalam artikel berjudul “Emerging Trauma Memories? + 4 Coping
Tips!”
Munculnya kembali ingatan biasanya berarti bahwa ada beberapa bentuk
trauma, pelecehan, pengabaian atau luka emosional yang dialami bertahun-tahun
yang lalu, tetapi ditekan karena Anda tidak berada di tempat yang aman atau
cukup stabil untuk menyembuhkannya... Mungkin Anda tidak dikelilingi oleh
orang lain yang akan mempercayai Anda, mungkin Anda terlalu muda, masih dalam
situasi berbahaya atau memiliki stresor medis atau pribadi yang tidak
memungkinkan melihat ke dalam.
Saya rasa benar juga bahwa kondisi di rumah saat
ini adalah aman dan nyaman sehingga saya mampu memproses kenangan-kenangan
buruk secara alamiah. Dulu, saya menanggapi kemunculan kenangan secara reaktif.
Baru kali ini saya merespons kemunculan kenangan dengan tenang dan hadir untuk
diri sendiri. Saya menyaksikan kembali kenangan tersebut dan memeriksa kembali
diri saya sendiri. Saya memastikan apakah keputusan yang saya lakukan saat saya
mengundurkan diri adalah tepat atau apakah ada yang perlu diubah. Hasil dari renungan
itu adalah saya perlu mengubah apa yang saya bisa lakukan.
Saya mengerti bahwa saya baru bisa memproses
kenangan tersebut karena di sana tidak ada teman yang dapat dipercaya untuk
mendukung saya melalui kekerasan yang saya alami di sana. Saya sudah berjuang
sebaik mungkin tetapi penindasan tersebut berada di titik yang tidak dapat diatasi
oleh saya sendiri. Karena yang menjadi sebab penindasan tersebut adalah
pergumulan pribadi bagi orang yang melakukan kekerasan tersebut. Saya belajar
pertanda-pertanda baru yang ternyata dapat diperhatikan sebagai penanda
kekerasan di sebuah lingkungan pekerjaan.
Saya sudah mengambil keputusan-keputusan baru.
Saya bersyukur bahwa saya sudah menyelesaikan beberapa tindakan untuk
melepaskan keterikatan dan urusan dengan instansi sebelumnya. Saya bisa
mengenali batasan saya dalam bekerja dan saya tahu bagaimana cara saya bisa
berfungsi secara optimal dalam bekerja.
Saya bergumul soal pengalaman hidup terkait
penindasan karena saya merasa tidak dapat dukungan yang sesuai dari orang
umumnya. Hanya beberapa teman yang mampu menanggapi secara bijak dan sesuai, itu
dikarenakan adanya literasi dan pemahaman tentang apa yang saya alami. Saya
dulu merasa harus terus menerus mengkomunikasikan apa yang terjadi pada diri
saya dan langkah bagaimana saya mengambil keputusan. Namun di saat itu tidak dapat
diterima dengan baik oleh orang (karena kekurangan sumber daya literasi), saya
hanya bisa menyampaikan keputusan dan batasan saya dengan jelas. Mengingat bahwa
banyak batasan saya yang telah diterobos dan dampak buruknya kepada kesehatan
mental saya.
![]() |
| Free Photo | Vertical high angle shot of a person standing on the end of walking road on roys peak in new zealand (freepik.com) |
Saya menemukan artikel menarik dari Rae Johnson
Pengalaman hidup menjadi tertindas dan
menindas menciptakan jejak yang dalam dan abadi tentang bagaimana memperlakukan
(dan berharap diperlakukan oleh) orang-orang yang berbeda dari kita, dan
bagaimana menegosiasikan perbedaan kekuasaan di antara kelompok dan individu.
Ini membentuk identitas dan pandangan dunia kita, dan menginformasikan
interaksi kita sehari-hari.
Ini adalah referensi yang tepat dan
terasa benar bagi diri saya sendiri. Karena pengalaman penindasan itu membekas
di badan diri sendiri dan juga membentuk sikap dan kepribadian seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Ini juga menentukan bagaimana cara kita memperlakukan
orang yang sama dan berbeda dari kita. Kemudian dari situ, saya juga mengenali
bahwa ada proses dinamika yang terjadi dari pengalaman-pengalaman penindasan.
Saya pun membagikan pilar kerangka konseptual yang dibangun oleh Rae Johnson yang diajukan dalam penelitian beliau:
- Kita belajar penindasan secara implisit dan relasional, melalui pengalaman sehari-hari kehidupan sosial dan politik.
- Pengalaman kami membentuk (dan dibentuk oleh) identitas sosial yang banyak dan berpotongan.
- Tubuh kita adalah lokus utama dari identitas sosial yang berpotongan ini.
- Kami belajar tentang sistem sosial melalui interaksi nonverbal interpersonal.
- Komponen nonverbal dari interaksi sosial adalah salah satu cara kontrol sosial yang paling kuat, ada di mana-mana, dan berbahaya.
- Hubungan sosial yang menindas dicirikan oleh interaksi nonverbal asimetris di berbagai kategori perilaku.
- Trauma dimediasi melalui tubuh dan bermanifestasi dalam pengalaman yang diwujudkan dari gejala stres pasca-trauma.
- Penindasan itu traumatis.
Saya tahu bahwa beliau sudah menerbitkan buku
baru yang berjudul “Embodied Social Justice”, ini mungkin adalah kerangka
awal yang pembaruannya sudah ada tertera dalam buku tersebut.
Saya merasa senang bisa melibatkan pengalaman pribadi
saya dan mempelajari bahan-bahan ilmiah yang sesuai dengan apa yang saya alami,
serta membagikannya dalam tulisan ini.
Referensi
Emerging Trauma Memories? + 4 Coping Tips! — Integrative Psychotherapy Mental Health Blog. (n.d.). Retrieved August 20, 2022, from https://integrativepsych.co/new-blog/trauma-memory-long-island
Johnson, R. (2015). Grasping and Transforming the Embodied Experience of Oppression. International Body Psychotherapy Journal, 14(1).



Posting Komentar