Telah delapan bulan masa kerja magang berlalu. Di beberapa postingan sebelumnya, saya telah menuliskan tentang kemelut kekerasan yang saya alami selama tinggal di sana. Terlepas dari kenangan peristiwa buruk di situ, saya ingat bahwa saya juga punya kenangan-kenangan baik selama di sana. Saya juga sempat mengusahakan untuk meninggalkan kenangan baik saat satu pekan sebelum meninggalkan mereka.
Bisa dikatakan, saya selama ini mempraktikkan
cermin kebaikan. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Menjadi cermin kebaikan dapat membantu seseorang membatalkan
penghindaran diri atau keterasingan seumur hidup. Itu dapat memanggil
kecerdasan alami, kreativitas, keberanian, dan cinta mereka. Itu dapat
mengungkapkan kepemilikan kita bersama dengan mereka yang berasal dari berbagai
ras, agama, dan kelas. Dan, di luar dampak transformatif pada kita sebagai
individu, kapasitas kita untuk melihat kebaikan adalah apa yang akan
memungkinkan kita untuk mengembangkan kesadaran spesies kita dengan cara yang
melayani dunia yang benar-benar penuh kasih sayang dan adil. (Brach,
2020)
Ini penting bagi saya karena ini telah membantu
saya berpijak. Saya merasakan adanya pengasingan yang secara otomatis dilakukan
oleh diri sendiri. Saya merasa tidak aman dan nyaman, rasanya ingin selalu
kabur selama ada di sana. Saya mengalami pengisolasian diri sebagai bentuk
penghindaran. Gak nyangka juga karena aku berusaha bertahan dengan terus
mengingat kebaikan yang ada di sana.
Saatnya memperhatikan kebaikan yang saya
tinggalkan di Pati. Saya berpikir bahwa saya sudah cukup mengenali dan memahami
gejala-gejala kekerasan dan penindasan yang saya alami selama bekerja. Saya
perlu mengingat apa yang baik bagi diri saya. Saya memberitahukan diri saya
sendiri bahwa saya berharga dan meninggalkan jejak yang baik di sana.
Pertunjukan di Jurnal Coffee
Hal pertama yang berkesan bagi saya adalah pertunjukan
di Jurnal Coffee. Meskipun sekarang relasi antar teman di sana berbeda. Pada
waktu itu, saya ingat perjuangan dan langkah perenungan yang saya lakukan
hingga karya itu bisa pentas dengan baik. Tim di Jurnal Coffee itu asyik. Saya
tampil bersama Widi, Lacahya, dan Wiwit. Proses yang cukup berat dilalui oleh
saya dan Widi, yang ternyata adalah pergumulan yang dihadapi bersama bisa
dialirkan melalui berkarya seni. Widi berkata pada saya bahwa dia akhirnya bisa
menyembuhkan trauma pribadinya setelah tampil.
Bestari Keswa Pati
Kemudian saya ingat bahwa saya telah
mendirikan sebuah komunitas kesehatan jiwa bernama Bestari Keswa Pati. Awalnya,
nama perkumpulannya adalah Welas Asih. Kami pada awalnya mengajukan audiensi ke
DPRD Kabupaten Pati tentang kondisi kesehatan jiwa di Kabupaten Pati. Dari
situ, kami mendapatkan dukungan untuk melegalkan perkumpulan. Saya senang
dengan kemajuan ini. Selepas saya kembali ke Bandung, saya memutuskan untuk berhenti
menjadi pengurus dan menyerahkan manajemen kepada Lacahya. Saya berpikir makna
hidup saya untuk Bestari Keswa Pati cukup sebagai pendiri karena advokasi
kesehatan jiwa masyarakat adalah kearifan khusus warga di Kabupaten Pati.
Saya sebelumnya tertarik untuk mengembangkan
kegiatan “Mendengarkan Secara Welas Asih” untuk anggota perkumpulan Bestari.
Saya dan Lacahya mendapatkan beasiswa pelatihan Compassionate Listening
di bulan September mendatang. Karena keterbatasan yang kami miliki, maka kami
cukup menerjemahkan buku referensinya ke dalam bahasa Indonesia. Karena saya
sudah tinggal di Bandung, saya tidak bisa kembali berkontribusi untuk kegiatan
di Pati. Semoga Lacahya dan teman-teman bisa berkembang lebih baik dengan
Bestari.
Pemulihan Pribadi
Tinggal di sana menjadi kesempatan bagi saya untuk menyembuhkan luka-luka lama yang belum selesai. Termasuk trauma kekerasan berbasis gender yang saya alami pada 2016 lalu. Kemudian trauma-trauma relasi dengan keluarga saya, lalu berakhir dengan melakukan rekonsiliasi dengan keluarga. Di sana memang menjadi tempat aman untuk menyelesaikan trauma terdahulu. Setelah trauma terdahulu selesai, ternyata saya perlu menyelesaikan trauma baru yang muncul dari tempat saya tinggal. Itu menjadi berat karena itu bukanlah pengalaman pribadi saya, melainkan trauma bawaan yang orang berikan kepada ku melalui perlakuan mereka kepada saya.
Saya merasa berpacu dalam ketertinggalan
dimana saya harus mengejar tahapan perkembangan tertentu. Itu adalah proses
yang tidak semestinya terjadi. Karena keterampilan itu bisa diakuisisi secara
organik dan perlahan. Saya mulai mengenali kembali gejala-gejala kebutuhan
khusus yang saya miliki sejak kecil. Ternyata, itu mempengaruhi perkembangan
saya saat ini. Saya kesulitan mengkomunikasikan lewat kata-kata tentang yang
terjadi dan saya alami. Namun ternyata saya lebih mudah berkomunikasi lewat
tulisan. Inilah bagaimana tulisan ini bisa hadir untuk mu.
Alam dan Pemandangan
Saya suka pemandangan alam di sana. Saya
dipinjami sepeda dan perjalanan saya kemana-mana selama di Pati menggunakan
sepeda. Rute yang menyejukkan sekaligus mematikan bagi saya adalah ke Desa
Ketanggan. Jalannya yang menanjak parah membuat aku tiba meninggoy di
rumah seorang teman di sana. Senang pula saat kembali karena jalannya menurun,
sehingga tidak perlu lelah-lelah mengayuh sepeda seperti saat saya naik
sebelumnya.
Saya juga pernah menaiki bukit naga bersama beberapa
teman. Pemandangan di sana sangat mempesona. Kami tiba di puncak sambil berbagi
refleksi hidup. Seorang teman dari Filipina akan berpamitan pulang. Sementara
waktu itu, saya masih bergumul dengan perubahan baru yang saya lalui.
Pemandangan waduk gembong juga penuh kenangan
dan emosi. Seperti melihat danau dalam film animasi Your Name (Kimi No. Nawa).
Saya merasa terpukau saat pertama kali berada di sana. Saya bisa duduk
selama berjam-jam di sana hanya untuk bengong melihat pemandangannya. Di sana
juga tersebar kafe-kafe kecil. Salah satu kafe favorit saya di Waduk Gembong adalah
The House.
PAUD
Yang terakhir dan yang menurut saya yang terbaik adalah pengalaman selama saya di PAUD. Saya merasa berharga saat bisa mendeteksi gejala-gejala kecemasan berpisah dan stimming. Di awal-awal pekerjaan, saya menyempatkan untuk melatih praktik somatik dengan anak-anak. Saya mulai menyadari perkembangan anak dan diri sendiri. Pendidikan inklusi yang ditawarkan di sana telah mewujudkan harapan teman-teman berkebutuhan khusus di Pati. Saya senang bisa beraktivitas dengan teman-teman di sana dan belajar banyak. Saya mencatat observasi harian yang cukup kaya bagi saya pribadi.
Harapan Saya
Saya berharap dengan melakukan cermin kebaikan di tulisan ini, saya bisa melanjutkan kehidupan saya ke hadapan. Saya ingat bahwa ada pengalaman yang baik dan juga yang buruk, tidak melulu pengalaman buruk yang muncul. Saya bisa memunculkan kenangan-kenangan baik untuk berpijak. Saya punya pandangan yang jelas tentang apa yang terjadi dan bisa memaknainya dengan haru. Melepaskan tak pernah sebermakna ini.
Referensi
Brach, T. (2020). Being a Mirror of Goodness | Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/finding-true-refuge/202012/being-mirror-goodness


Posting Komentar