tiqUNlKhA9rYA6EcjzIC9JgyYepNTgUokUaq6D7G
Terjemahan

Mengintip Landasan Pendidikan Damai Non Kekerasan dari Undang-undang Dasar 1945 UUD 1945

Beberapa hari yang lalu, tulisan saya menjadi viral. Tulisan yang isinya cerita trauma dan langkah keadilan yang ingin saya lakukan bahwa saya mau melepaskan pergumulan yang menetap cukup lama di diri saya, memicu resistensi yang kuat dari banyak orang.

Saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan selamat datang di blog saya. Pengalaman hidup saya yang panjang telah mendorong saya untuk mempelajari kurikulum damai dan non kekerasan, yang diakui berhasil mendukung banyak orang menyadari dinamika penindasan dan melakukan kekuatan perubahan.

diambil dari freepik.com

Sejak saya remaja, di saat sumber daya pengetahuan tentang pendidikan damai dan non kekerasan tidak tersedia, satu sumber yang menjadi landasan bagi saya adalah Undang-undang Dasar 1945. Ini senantiasa dibacakan setiap upacara bendera di hari Senin. Sudah jelas dituliskan:

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Ditambah serentetan Pasal 28A – 28J UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Beberapa yang saya kutip adalah...

Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendidikan dengan kekerasan yang diyakini sebagai efektif.

Pasal 28G

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Kita bisa renungkan bersama tentang apa yang sudah tertulis dalam Pembukaan Undang-undang Dasar, dan juga rentetan Pasal 28A – 28J. Ini adalah pendekatan dasar yang sudah dipupuk pada diri saya sejak remaja.

Pendidikan melalui kekerasan yang menjadi keyakinan banyak orang di Indonesia. Dalam konteks lokal yang saya perhatikan, bersumber dari trauma penjajahan dan sejarah. Ada keyakinan bahwa mendidik anak perlu dengan kekerasan supaya mentalnya kuat, ada pula yang menyebutkan bahwa kekerasan kepada anak-anak diperlukan supaya mereka tahu kesulitan yang terjadi di masa lalu.

Beberapa poin yang pernah saya dengar adalah karena mereka sudah bersusah payah membangun sebuah sistem yang sekarang dianggap mapan dan sukses, dan karenanya supaya anak-anak bisa menikmati “kesuksesan” di masa kini maka perlu mendapatkan kekerasan untuk tahu betapa susahnya masa lalu. Itu menunjukkan bahwa keyakinan tersebut membuat orang terperangkap di masa lalu.

Kekerasan berdasarkan usia yang diarahkan kepada anak-anak dalam dalih pendidikan adalah penindasan berbasis usia (ageism). WHO (Ageing: Ageism, n.d.) menyebutkan bahwa ageism adalah stereotip (bagaimana kita berpikir), prasangka (bagaimana perasaan kita) dan diskriminasi (bagaimana kita bertindak) terhadap orang lain atau diri sendiri berdasarkan usia. Dasar diskriminasi ini merupakan salah satu bentuk penindasan yang hadir dalam kekerasan berdalih pendidikan.

Komentar lainnya yang saya terima adalah bahwa orang yang menolak kekerasan adalah orang yang lembek dan bermental lemah. Ini adalah ujaran yang tidak tepat. Orang menolak kekerasan karena dia tidak sepakat kekerasan terjadi pada dirinya. Saya pun berusaha mewakili teman-teman yang bungkam, yang menolak kekerasan terjadi, yang menyadari bahwa pendidikan dengan kekerasan bukanlah sesuatu yang relevan untuk pendidikan yang lebih baik.

Dalam sebuah buku yang berjudul “Creating Cultures of Peace” (terjemahan: menciptakan budaya damai) yang ditulis oleh ibu Nadine Hoover (2018), tertulis bahwa kekerasan dan tekanan mempengaruhi otak. Seseorang kehilangan hampir semua kosakata dan yang tersisa adalah kata-kata negatif.

Dalam pendidikan yang saya fasilitasi, saya menemukan bahwa orang yang terpapar kekerasan merasa kesulitan untuk memunculkan kata-kata baik. Orang menjadi cenderung diam karena merasa orang lain mungkin akan memarahinya bila dia berkata. Ketika mengingat, yang tersisa dalam kenangan adalah kenangan dan kata-kata buruk.

Itu adalah salah satu dampak dari kekerasan. Belum lagi soal trauma dan dinamika penindasan yang akan membuat insiden kekerasan itu terus berulang dan direproduksi di berbagai tempat dan situasi. Ada istilah seperti “junior balas dendam saat menjadi senior”, itu adalah lingkaran setan penindasan yang ada di sekolah.

Kekerasan terjadi di berbagai situasi. Yang saya prihatinkan adalah bahwa budaya kekerasan sudah lestari di lembaga pendidikan. Ini yang menjadi perhatian saya sejak lama, motivasi paling kuat hadir setelah menjadi penyintas kekerasan pendidikan di sekolah. Kekuatan ini juga yang mendorong saya untuk belajar pendidikan damai. Sudah tiga tahun lebih sejak saya mempelajari dan mempraktikkan pendidikan damai dan non kekerasan.

Saya mengupayakan pendidikan damai tersedia bagi semua orang. Ini adalah kearifan yang tertanam dalam diri saya. Bahwa kekerasan dalam pendidikan, apa pun bentuknya, bahkan yang diawali niat baik sekalipun, harus dihentikan. Menggaungkan yang tertulis di UUD 1945 bahwa “sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Penjajahan dan penindasan dalam pendidikan bisa berhenti dan kita bisa bangun bersama pendidikan yang damai non kekerasan untuk negeri ini.

Referensi

Ageing: Ageism. (n.d.). Retrieved October 7, 2022, from https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/ageing-ageism

Hoover, N. C. (2018). Creating Cultures of Peace: A Movement of Love and Conscience. Conscience Studio.

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkomentar
Populer