Belakangan ini, saya menemukan fungsi keseharian saya berjalan dengan baik. Saya bisa mengelola jadwal dengan lebih baik, meskipun kadang-kadang terlambat.
Saya memberikan diri saya kesempatan untuk mengulas kembali rutinitas yang sudah saya lakukan.
Saya terbiasa tidur dan bangun di jam yang sama. Tidur pukul 21.00 dan bangun pukul 03.00. Seringnya sih saya terbangun karena mau pipis. Kemudian karena sudah terbangun, rasanya gak nyaman untuk kembali tidur. Menariknya, yang bisa bikin saya fokus di dini hari adalah dengan bermain gawai. Saya memainkan “Immortal Souls” karena mau menyelesaikan quest cerita yang baru sampai episode 2. Saya merasa bisa konsisten main karena mengejar konten cerita dalam permainan tersebut.
Setelah bermain, saya melakukan ibadah pagi. Kemudian sarapan. Setelah sarapan, kadang saya dapat ide untuk menulis, kadang juga ingin diam berhenti.
| diambil dari pexel.com |
Diam berhenti yang saya maksud, tidak sekedar diam begitu saja tidak melakukan apa-apa. Ini adalah praktik yang saya pelajari dari alat Hidup Tanpa Kekerasan – Menciptakan Budaya Damai dan Adil yang dikembangkan oleh ibu Nadine Hoover (2018). Saya ingat Bu Nadine cerita bahwa praktik stopping ini punya manfaat dengan landasan ilmiah yang teruji selama beberapa tahun. Berhenti adalah keterampilan penting bagi siapa pun yang berkomitmen untuk dibimbing secara batiniah oleh kekuatan perubahan (Creating Cultures of Peace Facilitator Online Training – Friends Peace Teams, 2020).
Biasanya berhenti dilakukan di awal sebelum melakukan kegiatan. Di dalam pelatihan menciptakan budaya damai, kami melatih berhenti setelah melakukan pembukaan. Dan dalam sehari-hari, kita bisa melakukannya di saat diperlukan, bahkan sebelum memulai perbincangan dengan seseorang.
Saya juga belajar di PAUD Joglo yang ada di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Mereka mengadakan berhenti di setiap awal pembelajaran. Anak-anak memimpin diam dan melakukan diam secara mandiri.
Durasi yang diperlukan untuk berhenti itu bervariasi. Biasanya sekitar 5 – 15 menit.
Instruksinya adalah sebagai berikut (Hoover, 2018):
"Luangkan waktu setiap hari untuk duduk. Bersantailah pada kerangka Anda. Berhenti di tubuh dan pikiran Anda. Rasakan napas dan detak jantung Anda dan dari mana asalnya. Perhatikan karunia hidup tanpa syarat. Perdamaian sudah ada di sini. Lepaskan apa yang Anda setujui, sukai, atau pahami. Anda masih hidup dan berharga. Tidak ada yang Anda katakan atau lakukan yang dapat membuat Anda lebih berharga daripada Anda saat ini. Ini, ini sudah cukup. Jadi mulai sekarang percayalah di mana cinta dan hati nurani memimpin. Berbicaralah dan bertindaklah untuk sukacita murni darinya. Sepanjang hari Anda, praktikkan ini. Berhenti, lepaskan, buka dan perhatikan nilai kehidupan di dalam dan di sekitar Anda. Datanglah dari tempat ini ketika Anda berpikir, membuat keputusan, bertindak dan berbicara. Dan mengundang orang lain untuk melakukan hal yang sama"
Bagi saya sendiri, berhenti membantu saya untuk kembali berpijak. Saya dapat mempertahankan fokus lebih lama dan nyaman saat berkegiatan. Yang saya perhatikan berikutnya adalah selalu mendapatkan kesempatan untuk berhenti dan berpikir di setiap peristiwa yang berpotensi menimbulkan reaksi atau pemicu trauma.
Praktik ini akan saya terapkan juga di episode 3 Kala Cumarita pada Jumat besok (14 Oktober 2022).
Apa kamu mencoba mempraktikkannya juga? Jika sudah coba, silakan berbagi pengalaman kamu di kolom komentar.
Referensi
Creating Cultures of Peace Facilitator Online Training – Friends Peace Teams. (2020, April 13). https://friendspeaceteams.org/ccp-facilitator-online-training/
Hoover, N. C. (2018). Creating Cultures of Peace: A Movement of Love and Conscience. Conscience Studio.


Posting Komentar