Saya yakin atas kekuatan spirit yang menuntun saya menuju suatu tempat. Saya sebut “tanah Cigugur memanggil.” Melalui kegiatan Seminar Agama-Agama yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), saya bisa berkunjung ke masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. Kegiatan tersebut diadakan pada 16 – 19 November 2022.
Kami membahas isu agama-agama, khususnya
tentang isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan serta masyarakat
penghayat kepercayaan lainnya. Saya belajar dari mereka tentang menghargai dan
merawat kepercayaan, adat, dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Saya
menghayati perjalanan panjang perjuangan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan dalam
mempertahankan tradisi, agama, dan alam mereka.
Saya datang dengan beragam pertanyaan tentang dari
mana saya bisa memulai usaha sosial saya untuk memberdayakan masyarakat kampung
adat Pasir. Pikiran saya menjelajah sepanjang seminar berusaha menemukan benang
merah dan pernyataan beresonansi dengan apa yang kami bisa dan sesuai untuk
dilakukan pertama. Pencarian itu berakhir saat saya menemukan kata kunci, yaitu
kampanye media sosial dan pemberdayaan pemuda.
Kita perlu berkenalan dan terlibat
bersama-sama. Kesadaran seperti ini pertama muncul saat saya terlibat dalam
yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya). Mereka memproduksi dan mempromosikan
kalender bulan Sunda yang disebut Candra Kala Sunda.
Awalnya saya bergumul soal dekolonisasi orang
Sunda. Salah satu pemikiran radikalnya adalah mengembalikan penggunaan kalender
Sunda ke versi aslinya. Namun, untuk saat ini, ada yang jauh lebih penting,
yaitu warisan penjajahan yang kini menubuh di sistem dan masyarakat umum: yaitu
politik agama resmi. Politik agama resmi ini adalah cara penjajah untuk
menghilangkan budaya dan agama lokal secara langsung dan sistematis. Melalui
regulasi-regulasi dan pembatasan, mereka menyingkirkan orang-orang dengan agama
lokal supaya mau masuk ke agama resmi. Ini pun memperkuat tekanan dan konflik antara
kelompok agama lokal dengan kelompok agama resmi. Dengan pelabelan orang-orang
sesat (dan begitulah pendidikan yang saya terima di masa sekolah pun).
Pola-pola penindasan struktural itu terbawa dan
terwujud dalam struktur masyarakat. Orang-orang dengan agama resmi membuat
keistimewaan bagi diri mereka sendiri dan menggunakan kuasa untuk mendorong
orang meninggalkan agama lokal. Kemitraan pernah terbentuk dan berjalan baik, tetapi
tidak untuk waktu yang lama. Mereka terus diuji oleh sistem-sistem yang
menindas hingga jalan terang mulai tampak pasca reformasi. Agama lokal mulai
diakui secara identitas dan bisa menaruh identitasnya dalam kartu tanda penduduk.
Namun, masih ada kendala dalam pernikahan. Perjalanannya ternyata masih panjang.
Seorang peneliti dalam forum menyebutkan
mengenai trauma dan luka-luka penindasan dan generasi yang dialami oleh
masyarakat agama lokal. Itulah hal pertama yang perlu diperhatikan dalam
pemberdayaan pemuda. Pemuda ini perlu untuk sembuh dari luka-luka dari masa lalu
untuk bisa mengupayakan apa yang ada di hadapan mereka saat ini. Strategi
pemberdayaan yang tepat diawali dari pemulihan kolektif untuk membangun penerimaan,
pengakuan, dan kepercayaan diri sebagai penganut agama lokal.
![]() |
| Foto bersama di Batu Satangtung |
Pengalaman puncak spiritual saya alami saat
mengunjungi batu satangtung. Batu satangtung adalah sebuah makam keluarga yang
diapit oleh dua pohon. Satu pohon kiara, dan satu lagi saya lupa. Lokasinya
berada di kaki Gunung Ciremai. Di dekat Batu Satangtung ada rumah untuk singgah
dan istirahat. Bapak Rama (pemimpin spiritual), menghabiskan sisa masa hidupnya
di sana. Ide bangunan ini muncul dengan perhitungan yang presisi, begitulah
yang dikatakan Ibu Ratu Dewi Kanti.
Saya seperti menyaksikan makam di atas bukit
dalam film Your Name karya Makoto Shinkai. Kearifan lokal yang dihadirkan dalam
film tersebut mengingatkan saya tentang Sunda Wiwitan. Bahwa kita juga punya
kearifan lokal yang demikian bermakna. Seorang pastor Katolik yang ikut
membangun, katanya, menyebut bangunan ini sebagai bangunan cinta. Karena ini
dibangun sebagai peringatan adanya kehidupan, bukan untuk disembah apalagi
dikultuskan.
Saya menangis dan merasakan keterhubungan yang
nyata. Pengalaman spiritual ini sangat pribadi bagi saya. Saya mengingat
leluhur dari ayah saya yang masih melakukan adat-adat tradisional hingga
menjelang akhir masa hidupnya. Saya tidak paham kesulitan apa yang dialami oleh
kakak sehingga beliau menjadi begitu keras kepada anak-anaknya. Ini pun
mempengaruhi bagaimana ayah saya memperlakukan saya, dengan banyak penyesuaian batasan
yang saya lakukan untuk menjaga kesehatan mental saya. Saya mulai merasakan
penghargaan kepada leluhur saya. Mungkin saya tidak ada relasi tempat ini,
tetapi kesamaan budaya dan keyakinan leluhur yang sama membuat saya bisa ikut
merasakan. Pesan yang saya dapatkan dari pengalaman puncak spiritual itu adalah
apa yang saya lakukan adalah benar, bangun keyakinan untuk terus mengupayakan
apa yang saya anggap benar.
Saya menceritakan apa yang saya alami kepada
sesepuh adat. Dia berkata, “sudah waktunya bagi anak muda untuk berada di atas
panggung. Jika anak muda terjatuh maka tugas orang tua untuk membantu dan
mengangkatnya kembali ke atas panggung. Itulah yang bisa kami lakukan dan
upayakan.”
Saya pun sempat menari bersama Rama di Situs Purbakala Cipari.
Sekelebat ide kreatif muncul untuk komunitas Balad Kawit Seja (BaKaJa) yang saya dirikan bersama teman-teman. Balad Kawit Seja artinya Sahabat-sahabat Memulai Upaya. Itu adalah kampanye kreatif melalui komik dan mikroblog.
![]() |
| Logo BaKaJa |
Setelahnya dari perjalanan panjang, kami
berkumpul untuk sesi paralel dan deklarasi maklumat Cigugur.
Kegiatan diakhiri dengan pertunjukan
perpisahan. Banyak yang kami bagikan serta langkah-langkah yang akan
masing-masing dari kami lakukan di masa mendatang.





Posting Komentar