tiqUNlKhA9rYA6EcjzIC9JgyYepNTgUokUaq6D7G
Terjemahan

Perjalanan Awal Bakaja di Seminar Agama-agama ke-37 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Saya yakin atas kekuatan spirit yang menuntun saya menuju suatu tempat. Saya sebut “tanah Cigugur memanggil.” Melalui kegiatan Seminar Agama-Agama yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), saya bisa berkunjung ke masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. Kegiatan tersebut diadakan pada 16 – 19 November 2022.

Kami membahas isu agama-agama, khususnya tentang isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan serta masyarakat penghayat kepercayaan lainnya. Saya belajar dari mereka tentang menghargai dan merawat kepercayaan, adat, dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Saya menghayati perjalanan panjang perjuangan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan dalam mempertahankan tradisi, agama, dan alam mereka.

Saya datang dengan beragam pertanyaan tentang dari mana saya bisa memulai usaha sosial saya untuk memberdayakan masyarakat kampung adat Pasir. Pikiran saya menjelajah sepanjang seminar berusaha menemukan benang merah dan pernyataan beresonansi dengan apa yang kami bisa dan sesuai untuk dilakukan pertama. Pencarian itu berakhir saat saya menemukan kata kunci, yaitu kampanye media sosial dan pemberdayaan pemuda.

Kita perlu berkenalan dan terlibat bersama-sama. Kesadaran seperti ini pertama muncul saat saya terlibat dalam yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya). Mereka memproduksi dan mempromosikan kalender bulan Sunda yang disebut Candra Kala Sunda.

Awalnya saya bergumul soal dekolonisasi orang Sunda. Salah satu pemikiran radikalnya adalah mengembalikan penggunaan kalender Sunda ke versi aslinya. Namun, untuk saat ini, ada yang jauh lebih penting, yaitu warisan penjajahan yang kini menubuh di sistem dan masyarakat umum: yaitu politik agama resmi. Politik agama resmi ini adalah cara penjajah untuk menghilangkan budaya dan agama lokal secara langsung dan sistematis. Melalui regulasi-regulasi dan pembatasan, mereka menyingkirkan orang-orang dengan agama lokal supaya mau masuk ke agama resmi. Ini pun memperkuat tekanan dan konflik antara kelompok agama lokal dengan kelompok agama resmi. Dengan pelabelan orang-orang sesat (dan begitulah pendidikan yang saya terima di masa sekolah pun).

Pola-pola penindasan struktural itu terbawa dan terwujud dalam struktur masyarakat. Orang-orang dengan agama resmi membuat keistimewaan bagi diri mereka sendiri dan menggunakan kuasa untuk mendorong orang meninggalkan agama lokal. Kemitraan pernah terbentuk dan berjalan baik, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Mereka terus diuji oleh sistem-sistem yang menindas hingga jalan terang mulai tampak pasca reformasi. Agama lokal mulai diakui secara identitas dan bisa menaruh identitasnya dalam kartu tanda penduduk. Namun, masih ada kendala dalam pernikahan. Perjalanannya ternyata masih panjang.

Seorang peneliti dalam forum menyebutkan mengenai trauma dan luka-luka penindasan dan generasi yang dialami oleh masyarakat agama lokal. Itulah hal pertama yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan pemuda. Pemuda ini perlu untuk sembuh dari luka-luka dari masa lalu untuk bisa mengupayakan apa yang ada di hadapan mereka saat ini. Strategi pemberdayaan yang tepat diawali dari pemulihan kolektif untuk membangun penerimaan, pengakuan, dan kepercayaan diri sebagai penganut agama lokal.

Foto bersama di Batu Satangtung

Pengalaman puncak spiritual saya alami saat mengunjungi batu satangtung. Batu satangtung adalah sebuah makam keluarga yang diapit oleh dua pohon. Satu pohon kiara, dan satu lagi saya lupa. Lokasinya berada di kaki Gunung Ciremai. Di dekat Batu Satangtung ada rumah untuk singgah dan istirahat. Bapak Rama (pemimpin spiritual), menghabiskan sisa masa hidupnya di sana. Ide bangunan ini muncul dengan perhitungan yang presisi, begitulah yang dikatakan Ibu Ratu Dewi Kanti.

Saya seperti menyaksikan makam di atas bukit dalam film Your Name karya Makoto Shinkai. Kearifan lokal yang dihadirkan dalam film tersebut mengingatkan saya tentang Sunda Wiwitan. Bahwa kita juga punya kearifan lokal yang demikian bermakna. Seorang pastor Katolik yang ikut membangun, katanya, menyebut bangunan ini sebagai bangunan cinta. Karena ini dibangun sebagai peringatan adanya kehidupan, bukan untuk disembah apalagi dikultuskan.

Saya menangis dan merasakan keterhubungan yang nyata. Pengalaman spiritual ini sangat pribadi bagi saya. Saya mengingat leluhur dari ayah saya yang masih melakukan adat-adat tradisional hingga menjelang akhir masa hidupnya. Saya tidak paham kesulitan apa yang dialami oleh kakak sehingga beliau menjadi begitu keras kepada anak-anaknya. Ini pun mempengaruhi bagaimana ayah saya memperlakukan saya, dengan banyak penyesuaian batasan yang saya lakukan untuk menjaga kesehatan mental saya. Saya mulai merasakan penghargaan kepada leluhur saya. Mungkin saya tidak ada relasi tempat ini, tetapi kesamaan budaya dan keyakinan leluhur yang sama membuat saya bisa ikut merasakan. Pesan yang saya dapatkan dari pengalaman puncak spiritual itu adalah apa yang saya lakukan adalah benar, bangun keyakinan untuk terus mengupayakan apa yang saya anggap benar.

Saya menceritakan apa yang saya alami kepada sesepuh adat. Dia berkata, “sudah waktunya bagi anak muda untuk berada di atas panggung. Jika anak muda terjatuh maka tugas orang tua untuk membantu dan mengangkatnya kembali ke atas panggung. Itulah yang bisa kami lakukan dan upayakan.”

Saya pun sempat menari bersama Rama di Situs Purbakala Cipari.

Sekelebat ide kreatif muncul untuk komunitas Balad Kawit Seja (BaKaJa) yang saya dirikan bersama teman-teman. Balad Kawit Seja artinya Sahabat-sahabat Memulai Upaya. Itu adalah kampanye kreatif melalui komik dan mikroblog.

Logo BaKaJa

Setelahnya dari perjalanan panjang, kami berkumpul untuk sesi paralel dan deklarasi maklumat Cigugur.


Kegiatan diakhiri dengan pertunjukan perpisahan. Banyak yang kami bagikan serta langkah-langkah yang akan masing-masing dari kami lakukan di masa mendatang.

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkomentar
Populer