tiqUNlKhA9rYA6EcjzIC9JgyYepNTgUokUaq6D7G
Terjemahan

Melampaui Ruang Aman: Urgensi Protokol Safeguarding dalam Komunitas Rentan di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "Ruang Aman" (Safe Space) telah menjadi kosakata yang populer di berbagai komunitas, organisasi sosial, hingga grup-grup daring di Indonesia. Spanduk-spanduk kegiatan dan deskripsi grup WhatsApp sering kali mencantumkan klaim sebagai "ruang aman bagi semua". Namun, realitas di lapangan sering kali jauh panggang dari api.

Banyak ruang yang melabeli diri aman, justru bermetamorfosis menjadi arena terjadinya kekerasan yang paling menyakitkan dan membingungkan:

Kekerasan Lateral (Lateral Violence). Ini adalah kekerasan yang terjadi antar sesama anggota komunitas yang sama-sama terpinggirkan atau memiliki tujuan yang sama.

Di Indonesia, tantangan menciptakan ruang aman ini menjadi semakin pelik karena berbenturan dengan nilai budaya yang sangat kuat: Budaya "Rukun" dan "Kekeluargaan". Sering kali, demi menjaga kerukunan semu, keamanan individu dikorbankan. Niat baik saja tidak cukup untuk mengelola komunitas. Kita membutuhkan instrumen yang lebih kuat, terukur, dan tegas. Kita membutuhkan protokol Safeguarding.

Apa Sebenarnya Safeguarding Itu?

Banyak orang menyamakan safeguarding dengan sekadar "perlindungan" atau "tata tertib grup". Namun, safeguarding adalah konsep yang jauh lebih proaktif dan komprehensif.

Dalam konteks organisasi kemanusiaan dan komunitas global, Safeguarding didefinisikan sebagai serangkaian kebijakan, prosedur, dan praktik yang dirancang secara sistematis untuk melindungi kesehatan, kesejahteraan, dan hak asasi individu—khususnya kelompok rentan (seperti penyandang disabilitas, anak-anak, lansia, atau penyintas kekerasan)—agar dapat hidup bebas dari bahaya, pelecehan, dan pengabaian.

Jika aturan komunitas biasa hanya fokus pada kelancaran program atau reputasi organisasi, Safeguarding fokus pada keselamatan manusianya. Ia menempatkan nyawa dan kewarasan anggota di atas "kualitas diskusi" atau "nama baik pendiri".

Mengapa Anggota Komunitas Saling Melukai?

Fenomena kekerasan lateral dalam komunitas rentan atau kelompok marjinal adalah sebuah paradoks yang menyedihkan. Mengapa orang yang sama-sama berjuang menghadapi stigma atau tekanan hidup justru saling serang?

Secara sosiologis, ini terjadi ketika kelompok tersebut hidup di bawah tekanan sistemik yang berat (misalnya tekanan sosial untuk terlihat "normal" atau "kuat"). Frustrasi akibat tekanan ini sering kali tidak bisa diarahkan ke atas (ke sistem atau penguasa) karena terlalu berisiko. Akibatnya, agresi diarahkan ke samping (ke sesama rekan yang dianggap lebih lemah, berbeda, atau "kurang berjuang").

Contoh nyata adalah fenomena Penjaga Gerbang (Gatekeeping) Penderitaan. Seorang anggota senior mungkin menyerang anggota baru yang meminta bantuan atau keringanan. Si senior menggunakan narasi: "Aku dulu menderita dan berjuang sendirian tanpa bantuan siapa pun, jadi kamu jangan manja."

Penderitaan masa lalu dijadikan standar kompetensi atau syarat keanggotaan. Tanpa kacamata safeguarding, tindakan ini sering dianggap sebagai "nasihat keras" atau "pembentukan mental", padahal sejatinya itu adalah perundungan (bullying) yang melanggengkan trauma dan memecah belah solidaritas.

Tantangan Konteks Indonesia: Rukun vs. Aman

Di Indonesia, penerapan safeguarding sering kali macet karena hambatan budaya yang khas:

  1. Sindrom "Gak Enakan": Pengurus atau moderator komunitas sering kali enggan menegur pelaku perundungan, apalagi jika pelaku adalah "senior", "sesepuh", atau orang yang dituakan dalam komunitas. Menegur dianggap tidak sopan atau merusak suasana kekeluargaan.

  2. Harmoni Semu: Konflik dianggap tabu. Jika ada korban yang melapor, respons pertama sering kali adalah mediasi paksa untuk "berdamai", "saling memaafkan", dan "melupakan", tanpa mempedulikan apakah korban masih merasa terancam atau tidak. Perdamaian dipaksakan di atas luka yang belum kering.

  3. Pembiaran Institusional (Institutional Enabling): Ketika pemegang otoritas (ketua/admin) memilih diam saat melihat perundungan demi menjaga ketenangan grup, mereka sebenarnya sedang melakukan tindakan aktif: membukakan pintu bagi pelaku untuk terus menyakiti korban. Diamnya orang baik adalah validasi bagi pelaku kekerasan.

Langkah Praktis Menuju Komunitas yang Aman

Membangun komunitas yang inklusif bukan sekadar soal jumlah anggota yang banyak. Inklusi adalah jaminan bahwa ketika seseorang masuk ke dalam komunitas, mereka tidak akan dilukai oleh orang-orang yang ada di dalamnya.

Setiap komunitas, sekecil apa pun, harus berani menerapkan standar minimal Safeguarding yang adaptif namun tegas:

  1. Zero Tolerance Policy: Harus ada aturan tertulis yang eksplisit bahwa segala bentuk intimidasi, serangan personal, atau perbandingan penderitaan (oppression olympics), tidak akan ditoleransi. Pelanggar harus menghadapi konsekuensi, mulai dari peringatan hingga dikeluarkan (ban), tanpa memandang status senioritas atau kedekatan dengan pengurus.

  2. Berpusat pada Penyintas (Survivor-Centered Approach): Jika ada aduan kekerasan atau ketidaknyamanan, prioritas pertama pengelola haruslah keamanan dan pemulihan pelapor. Pertanyaan pertamanya adalah "Apa yang kamu butuhkan agar merasa aman sekarang?", bukan "Kenapa kamu tidak memaafkan saja?". Validasi perasaan korban adalah langkah pertama pemulihan.

  3. Sterilisasi Ruang (Vetting): Ruang privat untuk dukungan sebaya (peer support) harus steril dari relasi kuasa yang timpang. Misalnya, grup curhat untuk anggota baru atau anggota rentan sebaiknya dipisahkan dari pihak luar atau senior yang memiliki kecenderungan mendominasi, agar anggota bebas berekspresi tanpa takut dihakimi.

  4. Edukasi Mikroagresi: Anggota komunitas perlu diedukasi bahwa komentar-komentar "kecil" atau bercandaan yang menyinggung kondisi personal (mikroagresi) memiliki dampak akumulatif yang merusak mental. Apa yang dianggap "candaan" oleh satu orang bisa menjadi "serangan" bagi orang lain dengan sistem saraf yang berbeda.

Membangun ruang aman membutuhkan keberanian untuk menjadi tidak populer. Terkadang, kita harus "merusak suasana" demi menegakkan keadilan. Karena pada akhirnya, rasa aman bagi anggota yang paling rentan adalah tolok ukur sejati dari keberhasilan sebuah komunitas.



Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkomentar
Populer