Aku baru saja mengurai isu pribadi berhubungan dengan maskulinitas beracun. Aku sadar bahwa beberapa pilihan ketika aku sekolah dulu, beberapa di antaranya, adalah berlandaskan maskulinitas yang beracun buat aku. Waktu itu aku ada upaya untuk mengembalikan maskulinitasku untuk bisa diterima kembali oleh lingkungan. Namun kenyataannya adalah aku tidak diterima oleh lingkungan seperti yang aku harapkan. Orang tetap merundung aku atas apa yang aku lakukan dan siapa diriku sebelumnya. Jadi penerimaan diri dalam lingkungan dengan mengubah diri sendiri sesuai norma bukanlah hal yang bagus untuk ku.
Banyak nilai-nilai yang diajarkan dan ditanamkan padaku yang akhirnya membatasi ruang gerak dan ekspresi. Aku jadi kesulitan mengakses platform yang mungkin bisa membantu aku mengembangkan bakatku waktu itu. Aku mungkin bisa mendapatkan pertolongan psikologis yang ku butuhkan lebih dini. Karena sebelumnya aku merasa yakin bahwa kesulitan yang aku hadapi harus dihadapi seorang diri. Aku berakhir hancur.
Aku kutip dari Psychology Today, Maskulinitas beracun adalah hasil dari seperangkat aturan ketat yang menentukan seperti apa seharusnya menjadi seorang pria. "Aturan manusia" beracun ini meliputi:
- Seorang laki-laki harus menderita rasa sakit fisik dan emosional dalam keheningan.
- Seorang laki-laki seharusnya tidak mencari kehangatan, kenyamanan, atau kelembutan.
- Seorang laki-laki seharusnya hanya memiliki emosi keberanian dan kemarahan. Emosi lainnya adalah kelemahan. Kelemahan tidak dapat diterima.
- Seorang laki-laki seharusnya tidak bergantung pada siapa pun. Meminta bantuan juga lemah.
- Seorang laki-laki harus selalu ingin menang, baik dalam olahraga, pekerjaan, hubungan, atau seks.
Menanggapi maskulinitas beracun, aku sudah melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Salah satu diantaranya adalah melakukan pendidikan ulang. Aku meruntuhkan konsep maskulinitas yang terbentuk di diriku kemudian membangunkannya kembali. Aku sadar bahwa budaya dan sosial telah membentuk diriku, manifestasinya adalah melalui apa yang aku pikirkan dan rasakan tentang tubuhku dan diriku sebagai laki-laki. Batasan-batasan terlihat jelas dan aku menemukan kebutuhan diri. Sehingga keyakinan-keyakinan maskulinitas yang gak sesuai bisa direvisi menjadi maskulinitas yang positif dan menyejahterakan diri.
Dari artikel Psychology Today, ada kutipan:
“Jika kita ingin mengubah dunia, jika kita ingin menghentikan misogini, jika kita ingin perempuan aman di jalan-jalan kita dan laki-laki menjadi lebih sehat secara psikologis, kita harus mulai dengan bagaimana kita membesarkan anak laki-laki kita—di setiap rumah tangga, di sekolah. , dan di komunitas kita.”
Referensi
Neves, S. (2021, March 13). What is toxic masculinity? Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/talking-sex-and-relationships/202103/what-is-toxic-masculinity


Posting Komentar