Manipulasi emosional mengubah cara seseorang berpikir dan merespon menghadapi realita. Menjelang tiga bulan ku tinggal di Pati, aku mulai mempelajari apa yang terlepas dari diriku. Itu adalah perasaan takut yang intens, yang tepatnya disebut sebagai teror.
Terlepas dari lingkungan keluarga yang disfungsional membuat aku belajar bahwa orang tua di rumah mengendalikan satu sama lain dengan perasaan takut dan ancaman. Satu sama lain saling mengancam di lingkungan yang mengancam. Siklus ancam-mengancam ini mengendalikan perilaku dan tata cara berpikir. Ini merupakan kekerasan dan dampaknya adalah kehilangan keterampilan bersosialisasi. Aku menjadi dirundung oleh rasa penuh takut dan curiga terhadap orang lain. Sebagaimana ungkapan "tidak akan ada yang peduli soal dirimu," juga "hanya keluarga yang peduli pada mu" diucapkan hampir setiap hari oleh ibu ku. Kini jelas bahwa ungkapan-ungkapan itu muncul untuk mengendalikan diriku supaya tunduk dalam "tatanan keluarga". Penindasan benar terjadi dalam keluarga dan di Indonesia, khususnya, ini terwujud dalam budaya bahwa anak mesti membahagiakan orang tua dan anak pertama punya tanggung jawab pada keluarga.
Sebelum aku keluar dari keluarga, aku dengan ibu terlibat dalam pembahasan mengenai apa yang akan dilakukan. Dalam obrolan itu, aku menegaskan bahwa aku akan meninggalkan budaya-budaya tentang keluarga yang menindas termasuk soal "membahagiakan orangtua" dan "tanggungjawab anak pertama". Budaya yang tepat bagi ku berdasarkan kesepakatan bersama. Ketika suatu budaya itu tidak disepakati maka itu tidak jadi budaya lagi.
Saya sudah sering menyaksikan bagaimana teman-teman saya terjebak dalam tuntutan bahwa mereka bertanggungjawab atas kebahagiaan orang tua mereka sendiri. Mereka lupa bahwa sebenarnya orang tua bertanggungjawab atas kesejahteraan psikologisnya sendiri. Anak-anak yang menjadi korban dari budaya ini telah belajar untuk mengabaikan diri sendiri dan meninggalkan kebutuhan pribadi demi sebuah tuntutan yang dinamai kebahagiaan orang tua. Perlu diperhatikan bagaimana penindasan ini terwujud dalam keluarga-keluarga di Indonesia. Ini sudah tidak lagi menjadi masalah pribadi, ini menjadi permasalahan lintas generasi yang ada di masyarakat.
Jika ditilik hingga akar "kenapa penindasan itu terjadi sejak awal", maka yang muncul dalam pemikiran ku adalah penyelamatan diri. Dan ini terhubung dengan kondisi ekonomi serta penuaan. Tidak adanya perawatan masa tua yang terjamin, mungkin menjadi salah satunya. Kehilangan kepercayaan pada orang lain selain keluarga pun hadir pada keluarga ku. Sehingga secara gak sadar budaya digunakan sebagai alat kuasa untuk menarik anak-anak kembali ke rumah dan merawat mereka, dengan paksaan dan manipulasi. Bagiku, tak masalah jika perawatan masa tua dibahas dan disepakati bersama. Jika keputusan itu pada akhirnya dipaksakan dan melibatkan manipulasi psikis, ini adalah kejadian-kejadian yang berbahaya.
Melepaskan emosi-emosi teror yang intens akibat manipulasi. Aku menyadari bahwa emosi teror ini bukanlah emosiku, ini adalah emosi kedua orang tua ku. Mereka tidak mampu menggunakan tanpa kekerasan sebagai cara. Mereka pun tidak mampu mengartikulasikan dan mengalirkan emosi dengan jelas. Mengalirkan teror itu seperti melepaskan paku yang tertancap di papan kayu. Bekas-bekas paku itu ada dan terasa di diri ini. Itu adalah trauma yang membekas di diri ini. Ternyata itu lah yang mewujudkan pola-pola kegundahan dalam diri ini.
Aku menyadari bahwa penindasan dan kekerasan telah terjadi setiap hari selama aku tinggal dengan keluarga. Berpisah dari keluarga membuat diri bisa menyadari dan mengenali pola-pola kekerasan dan penindasan yang terjadi. Setelah emosi dan trauma ditemukan, diri bisa memproses dan mengalirkan emosi. Kemudian melakukan penyembuhan trauma.
Kamu gak sendirian, aku juga...
Ada sebuah lagu yang sesuai dengan kondisi yang saya alami


Posting Komentar