Pada Jumat – Minggu, 2 – 4 September 2022, saya mengikuti “Pelatihan untuk Orang-orang Muda Penggerak Perdamaian” yang diadakan oleh Huria Kristen Indonesia Bandung Selatan dan United Evangelical Mission Asia di Kabupaten Bandung. Saya datang mewakili Balad Pasundan (bagian dari Arjuna Pasundan), sebuah organisasi komunitas yang merespon isu HIV Pemuda di Kota dan Kabupaten Bandung. Terdapat pemuda-pemudi hadir dari berbagai organisasi dan komunitas, termasuk IPNU (Ikatan Pelajar Nadhatul Ulama), IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nadhatul Ulama), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola), OMK (Orang Muda Katolik), Pemuda Budidaya (penghayat kepercayaan), HKI (Huria Kristen Indonesia) Bandung Selatan, dan HKI Kota Bandung.
Hari Pertama
| Ruangan pelatihan (sumber: pribadi) |
Di hari pertama, kami disambut oleh beberapa narasumber dalam sebuah rentetan seminar. Seminar pertama disampaikan oleh Haidar Yamin Mustafa, Kemenag Kanwil Provinsi Jawa Barat.
| Haidar menyampaikan materi (sumber: pribadi) |
Haidar menyampaikan tentang disrupsi yang mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi di masa kini, salah satunya disrupsi agama. Orang kini bisa mengakses informasi keagamaan dengan mudah melalui kanal media dan sosial. Risiko yang muncul dari disrupsi agama adalah tidak adanya literasi media yang memadai untuk seseorang bisa menyeleksi dan menanggapi konten yang dikonsumsi dengan bijak. Solusi dari adanya disrupsi agama adalah moderasi beragama.
“Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap,
dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil,
berimbang dan tidak ekstrem dalam praktik beragama,” Haidar menjelaskan.
Lebih lanjut mengenai moderasi beragama, ada empat indikator moderasi beragama:
- Cinta tanah air, mengembalikan nilai-nilai konsensus berdirinya NKRI sebagai kesepakatan bersama
- Toleran, nilai dari pengalaman prinsip unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika)
- Anti kekerasan, mengedepankan HAM
- Akomodatif
Bagaimana moderasi beragama bisa menanggapi disrupsi?
Ada tiga cara. Pertama, melihat secara global.
Kita dapat memahami bagaimana agama dimaknai dan dipraktikkan di bagian lain
dunia. Kita mungkin sudah tahu bagaimana suatu agama dipraktikkan di sekitar
kita dan di negara kita. Mungkin penghayatan dan praktik di negara lain berbeda
dari yang kita perhatikan di Indonesia.
Kemudian
berikutnya kita perlu merespons secara lokal. Kita bisa memahami bagaimana agama
dimaknai dan beradaptasi dengan unsur kearifan dan budaya lokal.
Dan yang ketiga adalah berpikir secara
moderat. Kita perlu memiliki perspektif yang moderat (tidak ekstrem dan tidak
liberal)
Dalam penjelasannya, Haidar menyatakan bahwa
musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic
extremism).
| Irma Simanjuntak dalam layar Zoom (dokumentasi pribadi) |
Berikutnya, ada Irma Simanjuntak dari United Evangelical Mission Asia. Beliau menghadiri kegiatan secara virtual. Beliau menjelaskan tentang keterlibatan gereja dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Disebutkan pula bahwa terdapat 17 wilayah yang mengalami gangguan beribadah. Terdapat kasus paling banyak di Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi.
Yang menarik bagi saya bahwa ada beberapa pendekatan
yang bisa dilakukan untuk mengadvokasi kebebasan beragama, yaitu pendekatan pemerintahan,
legal, dan sosiokultural. Pendekatan sosiokultural dinilai oleh Irma sebagai pilihan
yang lebih baik untuk membangun masyarakat plural.
| Pendeta Hotman Hutasoit (dokumentasi pribadi) |
Sepanjang seminar, saya merasa belum mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saya mulai memahami apa yang terjadi dengan HKI Bandung Selatan saat menyaksikan penjelasan dari Pendeta Hotman Hutasoit yang kini berperan sebagai Sekretaris Jenderal Huria Kristen Indonesia.
Pada 1906, seorang pemuda Batak bernama
Hesekiel menerbitkan surat kabar “Binsar Sinondang Batak”. Kemudian pada
tanggal 1 Mei 1927, Hoeria Christen Batak (HChB) didirikan. Mereka menghadapi
berbagai rintangan seperti dianggap bidat oleh lembaga Zending, tidak
mendapatkan hak bersekolah di lembaga pendidikan yang dikelola oleh Zending,
serta tidak mendapatkan legalitas dari pemerintah Belanda saat itu. HChB
berganti nama menjadi Huria Kristen Indonesia pada tahun 1946.
Mereka sudah mengalami diskriminasi sejak awal
didirikan. Kemudian sekitar tahun 2012, Gereja HKI Bandung Selatan di Bale
Endah disegel sehingga kegiatan ibadah tidak bisa diselenggarakan. Padahal
bangunan itu sudah ada sebelum pendatang-pendatang itu menduduki daerah sekitar
gereja. Mereka pun yang pertama menghubungkan listrik ke daerah tersebut.
Hingga sekarang, Jemaat HKI Bandung Selatan melakukan ibadah di sebuah gor sewa
di LANUD Sulaiman. Biayanya memang mahal, dan itu sudah berlangsung selama 10
tahun.
| Zainal Arifin (dokumentasi pribadi) |
Dilanjutkan oleh materi tentang bantuan hukum oleh Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Beliau menjelaskan mengenai perbedaan bantuan hukum konvensional dan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum struktural adalah bantuan hukum terhadap masyarakat yang tidak mampu/tidak berdaya sebagai akibat dari ketimpangan struktural dan pelanggaran HAM. Bantuan hukum struktural bertujuan untuk mengubah struktur yang timpang menjadi setara melalui perubahan sistem dan kebijakan.
| Wawan Gunawan memaparkan materi (dokumentasi pribadi) |
Lalu yang terakhir, narasumbernya adalah Wawan Gunawan dari JAKATARUB. Beliau menjelaskan mengenai peran lembaga swadaya masyarakat. Dari awal konsepnya muncul dan pengembangannya hingga saat ini. Beliau mengajukan perkembangan komunitas berdasarkan aset. Terdapat berbagai jenis advokasi yang diperhatikan. Dari yang berbentuk teori kritis, yang diwarnai dengan munculnya kritik wacana agama, budaya dan gender. Lalu muncul upaya pendampingan, juga advokasi kolaboratif yang mendampingi korban sekaligus berkolaborasi dengan negara. Lalu ada kampanye populer yang dipelopori oleh Peace Generation. Kemudian ada juga gerakan lintas agama melalui kedamaian batin. Di ranah akademik, berkembang menjadi studi agama-agama. Gerakan yang belum muncul adalah di tingkat tetangga atau neighborhood dan pengasuhan.
| Foto bersama (diambil oleh panitia) |
Pada malam harinya, kami bermain mengenali privilese. Kami mendapatkan peran-peran tertentu dalam sebuah kertas kemudian maju atau mundur setelah pernyataan diberikan. Peserta maju di saat merasa akses tersebut mudah didapat. Peserta mundur di saat merasa akses tersebut sulit didapat. Hal menarik dari permainan ini adalah orang yang punya privilese lebih banyak ternyata tidak memperhatikan teman-teman yang berada di belakangnya. Ini jadi perhatian juga karena di saat seseorang sudah nyaman dengan privilese yang dimilikinya, besar kemungkinan orang tersebut tidak menoleh ke belakang untuk melihat ketimpangan yang sebenarnya terjadi di sekitar.
| Kegiatan malam (dokumentasi panitia) |
Di akhir, kami pun dibagi kelompok yang bertugas untuk menjadi penjaga waktu, memfasilitasi kegiatan bermain, dan melakukan ulasan materi.
Hari kedua
Dipandu oleh tim fasilitator, kami mulai
mengenali pola-pola diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas agama di
Jawa Barat. Kami diperlihatkan kasus-kasus diskriminasi yang telah terjadi dari
waktu ke waktu. Ternyata banyak produk-produk hukum dan kebijakan yang
diskriminatif. Ada beberapa tren pelanggaran seperti kekerasan fisik,
intimidasi, pemaksaan pindah agama atau keyakinan, perusakan properti,
diskriminasi regulasi, dan diskriminasi di layanan publik.
Kita perlu ingat bahwa kita, sebagai warga
negara Indonesia, memiliki jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam
konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 28 E dan 28 J. Ternyata kewajiban
negara adalah menghormati dan melindungi warga negara dari pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Para peserta pun diberikan kesempatan untuk bercerita
tentang komunitasnya masing-masing.
| Dialog antar teman (dokumentasi panitia) |
Saya bisa mengenal berbagai agama dan komunitas di kegiatan ini. Saya baru mengerti bagaimana rasanya ketika suatu komunitas harus bekerja ekstra untuk mempertahankan rumah ibadahnya sendiri. Ternyata tidak nyaman juga bagi jemaat HKI Bandung Selatan saat rumah ibadah direlokasi dan jemaat perlu berusaha keras untuk menyewa gedung dan menyediakan transportasi setiap minggunya. Kesulitan seperti itu sudah berlangsung selama 10 tahun lebih. Saya sendiri merasakan prihatin ikut mengalami bagaimana beratnya tekanan yang dialami akibat diskriminasi.
Di sesi berikutnya, kami dikenalkan mengenai
apa itu advokasi dan bagaimana perencanaan dan pelaksanaannya. Kita perlu
mengenali situasi dari korban, juga kasus serupa yang terjadi di sekitar
wilayah tersebut dan kapan terjadi. Perlu juga untuk mengenali pola tindakan yang
dilakukan oleh kelompok yang melakukan diskriminasi dan penindasan.
| Identitas saya adalah... (dokumentasi panitia) |
Permainan menarik berikutnya adalah mengenali dampak penindasan terhadap identitas. Dari permainan itu kita bisa mengenali proses bagaimana penindasan yang dilakukan seseorang membuat seseorang menghapus identitas diri. Seseorang bisa kehilangan rasa dirinya saat mengalami kekerasan yang berulang-ulang. Ini ternyata mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
Pada malam harinya, kami diperkenalkan
advokasi media sosial dan mendapatkan tugas membuat konten media sosial
mengenai isu KBB dan HKI Bandung Selatan. Saya masuk ke dalam kelompok Instagram
Reels. Kami dapat inspirasi setelah menyaksikan konten viral ugly cake.
Konten tersebut dipresentasikan keesokan harinya.
Hari Ketiga
Kelompok saya sukses mempresentasikan konten Instagram
Reels. Senang sekali rasanya. Kami berbagi umpan balik tentang konten
masing-masing kelompok. Saya ingat bahwa sebelum evaluasi, ada ibadah bersama
di hotel untuk teman-teman Kristen.
Kami mengunjungi tempat peribadatan HKI
Bandung Selatan di siang harinya. Lokasinya berada di gor LANUD Sulaiman,
Kabupaten Bandung. Perjalanan ternyata jauh juga untuk ke lokasi ibadah. Itu
adalah tempat aman saat ini bagi jemaat HKI Bandung Selatan. Setelah jemaat
selesai beribadah, kami diberikan kesempatan untuk memperkenalkan diri kami dan
apa yang akan kami lakukan ke depannya: advokasi pemuda untuk KBB jemaat HKI
Bandung Selatan. Kemudian kami disalami oleh semua orang dari jemaat, satu per
satu, dan mereka mengucapkan terima kasih atas dorongan dan kekuatan kami untuk
mulai peduli dan terlibat. Saya baru menyadari bahwa ternyata butuh 10 tahun
hingga peristiwa ini terjadi, saya terpanggil dan terlibat.


Posting Komentar