Saya ingat pada bulan lalu, saat seorang teman saya mengapresiasi ucapan pengampunan yang saya berikan kepada pelaku kekerasan siber. Ia berkata bahwa salah satu nilai dari Anabaptis adalah pengampunan, dan saya adalah orang non Mennonite yang melakukannya. Saya merasa dihargai oleh pernyataan itu, merefleksikan betapa sulitnya memahami pengampunan hampir seluruh hidup saya saat ini. Karena keterampilan untuk mengampuni seseorang saya peroleh di usia 26 tahun.
Saya telah melakukan
pengampunan kepada hampir semua orang yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa
traumatik yang saya alami sejak saya kecil hingga usia 26 tahun.
Saya pernah tinggal di
lingkungan keluarga Mennonite selama delapan bulan. Tepatnya Januari – Agustus 2022
di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kami tidak pernah secara langsung membahas
tentang nilai-nilai Mennonite dan Anabaptis. Namun, saya memperhatikan bagaimana
nilai-nilai itu diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Saya ingat bagaimana
keluarga Mennonite di Pati menyambut upaya pengampunan yang saya lakukan. Itu
adalah pengalaman yang melegakan dan menyembuhkan bagi saya.
Kontak dan diskusi dengan
komunitas agama di sana telah membuka wawasan saya juga. Diskusi lintas iman,
yang saya lakukan secara pribadi, membangun wawasan saya tentang bagaimana
agama hadir dan hidup di sana. Saya juga sempat mengikuti Mennonite World
Conference (Konferensi Mennonite Dunia) di Salatiga pada 5 – 10 Juli 2022.
Saya mengapresiasi
inklusivitas yang diupayakan oleh teman-teman Mennonite, yang saya saksikan
langsung di Pati dan Jepara. Saya juga ingin mengapresiasi balik lebih lanjut
seorang teman calon pendeta saya yang mengirimkan apresiasi tentang upaya
pengampunan saya. Namanya adalah Hani dengan instagram @haniyup .
Memaknai Nilai Pengampunan dari Tradisi Anabaptis
Ditulis oleh Rhaka
Katresna, terinspirasi oleh @haniyup
Saya ambil dari al Qurtuby
Tradisi
Anabaptis ditandai dengan penghormatan yang kuat terhadap kitab suci, komitmen
yang kuat untuk berpartisipasi dalam komunitas orang beriman, dukungan yang jelas terhadap
perlawanan tanpa kekerasan, dan kepercayaan pada pemisahan yang berbeda
antara gereja orang beriman dan agama atau pemerintah negara
Lebih lanjut mengenai komitmen non-kekerasan, Anabaptis tidak dapat memisahkan diri
dengan cara-cara kekerasan
Perhatian pada Pengampunan dan Pemulihan
Jeschke membedakan
antara pengampunan yang cacat dan "pengampunan otentik"
Pengampunan yang cacat memiliki dua pandangan.
Pandangan pertama adalah bahwa pengampunan itu mudah dan tidak ada habisnya sehingga muncul upaya untuk menunjukkan belas kasihan tanpa akhir, tidak membutuhkan hukuman untuk kesalahan. Pandangan ini "mengasumsikan bahwa pengampunan mewakili perubahan dalam diri yang mengampuni alih-alih pada orang yang diampuni... Pandangan pengampunan [ini] yang memanjakan meninggalkan orang berdosa sebagai orang berdosa."
Pandangan kedua
adalah keras dan menghukum, membutuhkan hukuman terhadap orang berdosa. Bagi
Jeschke, "Hukuman sebenarnya menghalangi pertobatan dan pengampunan karena
itu menjadi pengganti transformasi etis."
Meskipun
pandangan ini terletak pada ujung spektrum yang berlawanan, kesalahannya sama.
Tidak ada yang mengharuskan pelaku untuk berubah - pandangan lunak membiarkan
pelaku lolos, pandangan keras memungkinkan pelaku mengganti hukuman untuk
transformasi.
Pengampunan Sejati
Pengampunan
sejati membawa orang yang sebelumnya berdosa ke mentalitas, sikap, dan
tindakan baru. Ini menciptakan kapasitas untuk membayangkan dan
mengadopsi pola perilaku baru yang ditandai dengan harga diri dan rasa hormat
terhadap orang lain - singkatnya, salah satu cinta dan keadilan."
Jeschke
menegaskan bahwa jika kita memahami bagaimana pengampunan Kristen yang otentik
bekerja, kita dapat dengan jelas mengenali langkah-langkah spesifik menuju
pengampunan dalam administrasi disiplin, atau "mendisiplinkan"
seperti yang disebut Jeschke.
Pertama,
disiplin mensyaratkan bahwa pengakuan dibuat yang merupakan "alamat
khusus untuk masalah khusus dengan nasihat khusus," bukan hanya
"pengakuan rutin."
Kedua,
pengampunan otentik dalam bentuk disiplin menawarkan bantuan yang diperlukan
bagi mereka yang membutuhkannya. Mereka yang bersedia untuk benar-benar
mengampuni harus menyadari bahwa seseorang tidak dapat menghentikan perilaku
merusak tanpa sumber daya yang benar untuk membantunya kembali ke kebenaran.
"Kasih karunia sejati tidak terdiri dari kata-kata kosong tetapi tindakan
yang mengkomunikasikan kekuatan yang memungkinkan penanggulangan
pelanggaran."
Ketiga, pengampunan
melepaskan panggilan untuk hukuman. Jika tujuan pertobatan dan pengampunan
adalah untuk menuntun pelaku kembali ke tindakan yang benar, maka hukuman
tidak membantu setelah pertobatan dan pengampunan terjadi.
Keempat,
gereja harus menggunakan "tindakan simbolis yang terlihat" untuk
mengungkapkan pengampunan. Secara historis, gereja telah menggunakan
'penumpangan tangan' untuk tujuan ini.
Dan akhirnya,
ketika pengampunan tercapai, orang yang diampuni harus bebas untuk memiliki
kehidupan baru di gereja. Dosa-dosa masa lalu hendaknya tidak ditahan
terhadapnya atau dibesarkan dengan cara apa pun setelah ada pengampunan.
Bagi Jeschke, ini karena "pengampunan bukanlah toleransi dosa tetapi
mengatasi dosa dan realisasi keadaan spiritual dan moral yang baru." Ini
memungkinkan setiap orang, terlepas dari hubungan awalnya dengan gereja, untuk
memiliki kehidupan baru yang menyenangkan di gereja.
Makna Pengampunan yang Saya Pelajari dari Tradisi Anabaptis
Saya sudah menandai dengan garis tebal setiap
pernyataan yang menarik bagi saya. Saya menemukan banyak kesamaan prinsip dan nilai
yang kini saya bangun dalam keseharian saya. Beberapa di antaranya masih saya
latih melalui renungan dan praktik.
Non kekerasan adalah fondasi saya dalam hidup
tanpa kekerasan dan menciptakan budaya damai. Disiplin yang dibangun
berdasarkan tanpa kekerasan bukan artinya memanjakan orang dan melemahkan
keterampilan orang. Belakangan ini, istilah seperti disiplin positif menjadi
populer. Itu adalah cara-cara yang saya kembangkan, melalui pemahaman mengenai
konsekuensi.
Mengenai pengampunan dan disiplin, inilah yang
baru saya perhatikan dari tradisi anabaptis. Ternyata perlakuan disiplin melalui
tanpa kekerasan juga ada. Serta, perhatian tentang pengampunan dan penerapan disiplin
menjadi hal yang utama dalam budaya Anabaptis.
Saya jadi teringat prinsip pendidikan yang
saya alami di sekolah dulu bahwa disiplin diajarkan melalui hukuman. Pengampunan
diperoleh setelah seseorang menjalani hukuman. Namun, hukuman ini bisa melukai
fisik dan mental seseorang. Dampak buruk lebih banyak, terutama ketika melukai
jiwa yang butuh waktu yang sangat lama untuk sembuh.
Dasar pengampunan dari tradisi Anabaptis ini
memberikan jalan bagi seseorang supaya bisa mengembangkan keterampilan
komunikasi. Konsekuensi yang jelas disampaikan melalui komunikasi membuat
seseorang lebih mudah belajar dan memahami disiplin yang ingin dibangun dalam komunitas.
Ini menunjukkan bahwa hukuman menjadi tidak berarti lagi.
Pengampunan berarti mendorong perubahan pada
pelaku untuk melakukan apa yang baik bagi dirinya. Pengampunan juga artinya membebaskan
diri sendiri dari jerat pemikiran tentang si pelaku. Dengan pengampunan, saya
bisa ikut merasakan penderitaan yang telah dilalui si pelaku sehingga kesalahan
bisa diperbuat. Saya ingat kembali bagaimana saya mempraktikkan pengampunan
untuk pertama kalinya di tahun ini. Ucapan pengampunan disampaikan secara
spesifik tentang perilaku apa yang salah juga dampaknya. Saya ingat bahwa mengingat
hal buruk diperlukan, kekuatan itu hadir dalam spirit pengampunan. Jalan terbentuk
di hadapan dan seseorang tinggal menjalaninya. Mungkin, dengan rasa waspada dan
hati-hati karena ini menjadi pengalaman kehidupan yang baru bagi seseorang.
Setelah pengampunan, hadir kehidupan baru bagi
yang mengampuni dan yang diampuni. Ini benar saya alami juga saat melakukan
pengampunan. Saya akhirnya bisa melanjutkan kembali kehidupan saya dan
menemukan arahan baru dalam hidup. Awalnya saya mematok tujuan hidup saya untuk
membalas dendam, karena emosi-emosi yang terperangkap dalam diri saya. Ketika
emosi itu menemukan jalan keluar, kemerdekaan hadir. Bahwa diri sudah belajar
hal baru, dan itu adalah pengalaman yang penuh anugerah.
Referensi
al Qurtuby, S. (2017, December 13). Fenomena “Kristen Salafi” Anabaptis – DW – 13.12.2017. DW: Made for Minds. https://www.dw.com/id/fenomena-kristen-salafi-anabaptis/a-41599812
Halteman, M. (n.d.). Forgiveness in the Anabaptist Tradition.


Posting Komentar