Pernahkah kamu secara sadar melakukan sebuah kesalahan kemudian badan membeku dan diri kesulitan bicara untuk mengakui kesalahan dan menyampaikan permintaan maaf? Itu adalah sesuatu yang berat, terutama jika tidak terlatih dan tidak terdidik melakukan itu. Diri kehilangan atau tidak tahu mau lakukan apa karena keterampilan sosial untuk menyampaikan permintaan maaf belum diperoleh.
Saya juga ingat ada seseorang yang
menyampaikan permintaan maaf, tapi tidak menyebutkan kesalahan dia apa. Aku
bingung mau maafkan di bagian mananya. Yang bikin tidak nyaman adalah saat dia
tidak menyebut dan menganggap bahwa peristiwa fatal itu seakan tidak pernah
terjadi. Saya bertanya-tanya, apa itu adalah permintaan maaf yang sungguh-sungguh?
Ini melanjutkan bunga rampai renungan tentang
pengampunan yang sebelumnya saya tuliskan di Jalan
Panjang Pengampunan (dan Cara untuk Mengampuni Seseorang) - Kalaupadi.
Kilas Balik tentang Pengampunan
Saya sudah mengenali bagaimana cara mengampuni
seseorang.
Sebelumnya saya belajar dari didikan bahwa
untuk mengampuni seseorang, perlu untuk membalas dan menyiksa orang lain sampai
puas. Keyakinan itu terungkap setelah saya artikulasikan dalam kata-kata. Bagi
saya, didikan yang saya terima soal pengampunan tidak sesuai dengan nilai yang
saya bangun sekarang. Karena itu menunjukkan perkembangan emosional yang rendah
dan ketidakmampuan untuk mengelola emosi dan mengenali diri sendiri.
Saya melakukan upaya unlearning supaya
pola-pola itu tidak saya lakukan lagi. Lalu secara sadar, saya mempelajari
langkah-langkah dalam mengampuni seseorang. Tidak semudah yang saya tuliskan di
blog ini, banjir emosi pasti karena badan saya, selama 26 tahun lebih, terbiasa
menumpuk emosi untuk dilampiaskan sebagai upaya balas dendam yang selamanya
tidak akan terpuaskan.
Saya sadar bahwa dorongan itu tidak akan
terpuaskan karena yang saya butuhkan adalah mengkomunikasikan perasaan dan
dimengerti oleh orang. Saat saya pertama kali berhasil mengutarakan apa yang
saya rasakan dan butuhkan, saya merasa terpenuhi dan emosi-emosi yang awalnya
menggunung terbakar habis. Ternyata, tubuh punya langkah dan alurnya sendiri
untuk menyelesaikan permasalahan.
Berikutnya adalah belajar menyatakan
permintaan maaf. Meskipun saya terbiasa untuk menyampaikan maaf duluan, bahkan
di saat saya tidak merasa melakukan salah sama sekali (karena manipulasi orang).
Saya perlu belajar kembali makna permintaan maaf dan bagaimana itu bisa
membangun kembali sebuah hubungan. Tidak seperti kejadian yang saya ceritakan
di awal postingan ini, saat seseorang meminta maaf tetapi tidak menyebutkan untuk
apa dan bahkan berusaha melupakan peristiwa buruk yang telah terjadi.
Ini juga sebagai bagian saya membangun literasi
tentang pendidikan karakter untuk masyarakat umum. Saya menemukan buku bagus di
Perpustakaan Provinsi Jawa Barat. Buku itu adalah “effective apology: merajut
hubungan, memulihkan kepercayaan” karya John Kador, diterbitkan oleh Penerbit
Gemilang.
sampul buku effective apology karya John Kador, diterbitkan oleh Penerbit Gemilang
Arti Meminta Maaf
Saya terinspirasi untuk terus membagikan proses membaca melalui blog ini. Yang pertama, karena blog ini perlu hidup dengan satu postingan baru setiap harinya. Kedua, untuk mendokumentasikan wawasan yang saya dapatkan dari membaca. Itulah dua perhatian yang saya tuangkan ke dalam blog ini.
Saya sudah membaca 11 halaman pertama dari buku tersebut.
Di halaman pertama sudah dituliskan bahwa:
“meminta maaf merupakan sebuah keterampilan kepemimpinan, dan layaknya keterampilan lain, dapat ditingkatkan lewat perenungan dan latihan.” – John Kador (2009)
Saya setuju soal itu. Saya berpikir bahwa meminta maaf dan pengampunan adalah keterampilan hidup dasar. Itu menunjukkan kematangan dan kedewasaan.
Saya ingat ada beberapa orang yang menghilang dari peredaran (ghosting) di saat tidak mampu mengatakan permintaan maaf. Saya pun pernah mengalami hal serupa. Ketika itu terjadi dulu, saya merasa sesak dan sulit bicara meskipun saya tahu bahwa saya perlu menyampaikan permintaan maaf. Saya merasa tidak selesai soal emosi dan perlu waktu untuk merawat emosi. Yang saya pelajari dari pengalaman adalah merawat emosi dulu kemudian sampaikan permintaan maaf.
Saya meneruskan membaca dan tiba di pernyataan berikut:
“Kita meminta maaf ketika kita menerima tanggung jawab atas sebuah pelanggaran atau kesusahan pihak lain dan mengungkapkan penyesalan secara langsung, pribadi, dan jelas, menawarkan pengganti, dan berjanji tidak mengulanginya lagi.” – John Kador (2009)
Sebelum kutipan tersebut, ada penjelasan mengenai tiga alasan kenapa seseorang perlu melatih meminta maaf. Satu yang menarik adalah ini seperti mendorong kebaikan untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri, yaitu hubungan yang dibina sesama manusia.
Saya sebelumnya cerita bahwa saya perlu merawat emosi dulu sebelum menyampaikan permintaan maaf. Saya tangkap dari definisi peminta maaf, yaitu “... menerima tanggung jawab”. Untuk itu memang benar dan wajar bahwa orang butuh waktu untuk merawat diri dan emosinya sebelum siap untuk menerima tanggung jawab.
Durasi untuk siap tidak menentukan kedewasaan, memang ada waktu-waktu tertentu untuk perawatan diri supaya kesiapan terbangun di dalam diri. Kita perlu menghargai dan menghormati upaya dan waktu yang seseorang luangkan hingga akhirnya dia berdiri di hadapan dengan menyampaikan permintaan maaf. Saya ingat ada teman yang butuh waktu tiga tahun untuk menyampaikan permintaan maaf. Itu tidak apa-apa dan saya bisa menerimanya.
Di postingan ini, kita sama-sama belajar definisi meminta maaf. Ternyata arti meminta maaf tidak sekedar jabat tangan dan minta maaf. Melainkan ada hal-hal yang menjadi bagian dalam arti meminta maaf.
Sampai ketemu lagi di postingan berikutnya tentang meminta maaf.
Daftar Pustaka
Kador, J. (2009). effective apology: merajut hubungan, memulihkan kepercayaan (I. Aunullah, Ed.; 1st ed.). Penerbit Gemilang.



Posting Komentar